Jakarta, Kabarberita Indonesia – Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% menuai banyak kritik dari masyarakat, terutama karena dianggap berpotensi menekan daya beli.
Menanggapi hal ini, Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menyatakan pihaknya telah menyiapkan berbagai program untuk menjaga daya beli masyarakat tetap stabil.
“Tadi saya sampaikan program-program yang kami jalankan, terutama tiga fokus utama Kemendag, itu salah satunya bertujuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat,” kata Budi saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (20/11/2024).
Ketika ditanya dampaknya terhadap perdagangan ekspor, Budi menekankan pentingnya ekosistem ekonomi yang saling mendukung. “Kalau tiga program utama kami berjalan dengan baik, tentunya dampaknya akan positif bagi perekonomian, termasuk ekspor. Kita tidak bisa hanya fokus pada satu aspek, semua ekosistemnya harus berjalan,” ujarnya.
Adapun tiga program kerja utama yang menjadi fokus Kemendag, pertama, pengamanan pasar dalam negeri. Dengan cara melakukan stabilisasi harga dan ketersediaan bahan pokok, peningkatan sarana perdagangan dalam negeri, fasilitasi pengembangan dan sertifikasi produk, pengawasan perdagangan, kepastian dan kemudahan usaha, serta pemberdayaan dan pengembangan produk dalam negeri.
Kedua, perluasan pasar ekspor. Dengan cara penguatan diplomasi perdagangan internasional, serta peningkatan promosi dan informasi ekspor.
Ketiga, peningkatan UMKM “BISA” ekspor. Program “BISA” merupakan singkatan dari Berani, Inovasi, Siap, Adaptasi, bertujuan untuk mencetak eksportir baru melalui peningkatan inovasi desain, pencetakan eksportir UMKM baru, dan peningkatan peran agregator untuk memperluas pasar.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mewanti-wanti akan adanya kenaikan harga jual produk di ritel modern, imbas dari kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%.
Roy mengatakan, meski kenaikannya hanya 1%, tetapi kenaikan itu akan berdampak kepada kenaikan harga produk yang dijual di ritel modern hingga 5-10%.
“Karena bersamaan pasti naik biaya transportasi, akibat biaya solar dan bensin yang naik PPN-nya. (Kemudian) pasti naik juga biaya transportasi logistik. Pasti naik juga biaya akumulasi penyusutan peralatan atau perlengkapan gerai, seperti chiller, refrigerator, dan lain-lain. Dan pasti naik juga biaya handling distribution center dan maintenance,” jelas Roy kepada Kabarberita Indonesia, Selasa (12/11/2024).
Oleh karenanya, Roy mewakili pengusaha ritel (Aprindo) meminta supaya pemerintah mengundurkan pemberlakuan PPN 12%. “Kita dari peritel anggota Aprindo meminta pemerintah mengundurkan pemberlakuan PPN 12% nya,” ucap dia.
Menurutnya, implementasi PPN 12% nantinya akan semakin menekan daya beli masyarakat, akibat meningkatnya harga jual produk yang terkena tambahan PPN pada seluruh lini.
“Karena pasti akan menekan daya beli masyarakat akibat meningkatnya harga jual,” ujarnya.
Senada dengan Roy, Ketua Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah menyebut kenaikan ini berpotensi memengaruhi perilaku belanja masyarakat, bahkan bisa menurunkan daya beli secara signifikan.
Menurut Budihardjo, isu kenaikan PPN telah membuat masyarakat cenderung menunda pengeluaran. Padahal, kata dia, semestinya masyarakat ramai-ramai membelanjakan uangnya. Sebab, bergeraknya ekonomi ialah dari perputaran uang konsumsi masyarakat.
“Yang saya dengar sih bukan borong, malah boikot. ‘Udah nggak usah beli barang’. Sebenarnya itu kan nggak baik, karena konsumsi itu kan harus semua orang belanja. Kalau semua orang saving, nggak bergerak ekonominya,” kata Budihardjo saat ditemui di Hotel Borobudur Jakarta, Selasa (19/11/2024).
Katanya, kebijakan kenaikan PPN 12% menciptakan efek domino yang kurang menguntungkan bagi perekonomian. “Kalau semua orang menahan belanja, roda ekonomi berhenti. Harusnya uang itu diputar agar semua pihak ikut menikmati,” tegasnya.
Budihardjo menjelaskan, kenaikan PPN 12% akan menyebabkan harga barang meningkat di semua lini. “Dari pabrik naik 12%, distributor bisa tambah 1%, sub-distributor naik lagi 1%, ritel juga tambah 1%. Kalau dihitung-hitung, kenaikan harga di tingkat konsumen bisa sampai 5%,” terang dia.
Dampaknya, konsumen cenderung lebih selektif dalam berbelanja, yang pada akhirnya mempengaruhi perputaran uang di pasar.
Budihardjo juga memprediksi awal tahun 2025 akan menjadi periode yang berat bagi sektor ritel. Penjualan diperkirakan anjlok hingga 50% dibandingkan Desember 2024, saat masyarakat biasanya berbelanja besar untuk kebutuhan Natal dan akhir tahun.
“Januari itu memang biasanya turun, setelah Desember yang naik 30%. Karena memang orang sudah habis-habisan belanja di Natal dan akhir tahun, dia ngerem habis itu. Tapi (dengan adanya kenaikan PPN 12%) saya takut makin anjlok di situ. Kalau dibanding Januari tahun lalu, mungkin penurunannya sekitar 15-20%,” ungkapnya.
Budihardjo berharap pemerintah mempertimbangkan dampak luas dari kebijakan kenaikan PPN ini, terutama terhadap daya beli masyarakat dan perekonomian nasional.
“Ini kan kadang-kadang pemerintah mengeluarkan statement mau naikin PPN, itu semua jadi membuat hal-hal yang nggak bagus. Baru ada statement mau naik itu saja sudah pada boikot. Itu kan sebenarnya kalau pemerintah lepasin aja, semua tuh aman-aman aja, (pertumbuhan ekonomi) 5% tuh dapat,” pungkasnya.
(haa/haa)
Next Article
Hidup Makin Susah, Bos Pengusaha Minta Batalkan Tapera
Artikel Ini Merupakan Rangkuman Dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20241120193808-4-589843/pengusaha-ngeluh-ppn-naik-jadi-12-di-2025-mendag-jawab-begini