Jakarta, Kabarberita Indonesia – China dilaporkan merencanakan sejumlah hal untuk menyeimbangkan posisi perdagangannya dengan Amerika Serikat (AS). Hal ini terjadi saat Donald Trump, yang terkenal keras terhadap Negeri Tirai Bambu, akan kembali memegang posisi kepresidenan pada Januari mendatang.
Mengutip Reuters, China berusaha mengumpulkan alat tawar-menawar untuk memulai pembicaraan dengan pemerintahan baru AS mengenai aspek-aspek hubungan bilateral yang kontroversial, termasuk perdagangan dan investasi, serta sains dan teknologi. China juga khawatir tentang dampak buruk tarif tambahan
Pekan ini, China meluncurkan penyelidikan terhadap raksasa chip AS Nvidia, atas apa yang diklaimnya sebagai dugaan pelanggaran antimonopoli. Ini dilakukan menyusul larangannya terhadap ekspor mineral langka ke AS.
“Kita harus melihat ini sebagai tawaran pembukaan dalam apa yang kemungkinan besar pada akhirnya akan berubah menjadi negosiasi dengan AS daripada sekadar pengenaan tarif dan semua orang pergi begitu saja,” kata Kepala Ekonom Asia HSBC Fred Neumann, Jumat (13/12/2024).
Ekonomi terbesar kedua di dunia itu kini mendominasi sektor-sektor seperti kendaraan listrik dan energi hijau secara global. Negeri Tirai Bambu itu juga tidak lagi membutuhkan jet Boeing buatan AS, setelah menemukan pengganti seperti pesawat Airbus dan Comac C919 buatannya sendiri.
Namun, China masih jauh dari kata mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Menurut para analis, perang dagang baru dengan ekonomi terbesar di dunia itu akan lebih merugikan China karena Washington berupaya untuk memutus negara itu dari akses rantai pasok dan perdagangan global.
Diketahui, China masih perlu mengimpor bahan-bahan strategis dari AS seperti microchip canggih dan peralatan berteknologi tinggi lainnya. Beijing juga mengandalkan konsumen AS untuk membeli barang-barangnya, mengingat prospek perdagangan global yang menurun dan permintaan domestik yang lemah.
“Beijing ingin duduk bersama Trump sebelum ia memberlakukan lebih banyak pembatasan pada ekspor teknologi tinggi AS dan untuk mengamankan pembaruan Perjanjian Sains dan Teknologi AS-China,” kata Alicia Garcia-Herrero, kepala ekonom untuk Asia Pasifik di Natixis.
Perjanjian tersebut, yang memungkinkan kolaborasi ilmiah antara kedua negara, berakhir pada bulan Agustus. Di sisi lain, negosiasi mengenai pembaruannya kemungkinan besar tidak akan selesai sebelum pelantikan Trump pada tanggal 20 Januari.
Peluru Xi Jinping untuk Rayu Trump
China kali ini disebutkan memiliki bahan untuk merayu Trump agar tidak mengenakan tarif kepadanya. Trik itu yakni meningkatkan pembelian minyak dan gas alam cair AS karena Negeri Paman Sam saat ini memompa lebih banyak daripada yang dapat dikonsumsinya.
“Trump membanggakan diri di jalur kampanye: ‘Bor, bor,’ jadi (dia) akan membutuhkan dukungan permintaan,” kata Bo Zhengyuan, mitra di konsultan Plenum yang berbasis di Shanghai.
“Mengingat meningkatnya pembatasan ekspor keripik, barang pertanian, komoditas, dan energi termasuk di antara barang-barang yang masih dapat dijual AS ke China.”
Meski begitu, ada juga hal yang membuat pebisnis di AS khawatir. Ini berkaitan dengan pembalasan China, bila Trump menjatuhkan tarif terhadap barang negara itu, yang kemungkinan dapat membatasi akses perusahaan AS di negara dengan 1,4 miliar penduduk itu.
“Perusahaan-perusahaan AS dan perusahaan-perusahaan asing lainnya benar-benar khawatir tentang apakah mereka benar-benar memiliki akses ke pasar ini,” kata presiden Kamar Dagang Amerika di China, Michael Hart.
“Bisakah kita menjual ke China lagi? Apakah ada larangan langsung terhadap kita?”
Sentimen bisnis di antara perusahaan-perusahaan AS di China berada pada titik terendah sejak 1999, menurut survei September oleh cabang Shanghai dari Kamar Dagang Amerika. Ada juga faktor-faktor nonekonomi yang berperan.
Trump, di sisi lain, telah menjanjikan tarif tambahan sebesar 10% pada barang-barang China untuk mendorong Beijing berbuat lebih banyak untuk menghentikan aliran fentanil ke AS.
Tarif akibat fentanil ini kemudian mencerminkan pembatasan impor China oleh AS, yang akhirnya membuat Beijing tidak senang. Apalagi Washington seringkali menghantam China dengan isu-isu seperti hak asasi manusia, Taiwan, dan Laut Cina Selatan.
“Menggunakan pembenaran politik untuk pemberlakuan pembatasan perdagangan pada akhirnya membuat ketegangan menjadi jauh lebih sulit diatasi,” kata Kepala Ekonom Asia HSBC Fred Neumann.
(luc/luc)
Next Article
Siaga Perang Dagang Jilid 2, Xi Jinping Respons Trump Menang Pemilu AS
Artikel Ini Merupakan Rangkuman Dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20241213195459-4-595914/trump-jadi-presiden-as-xi-jinping-ancang-ancang-lakukan-ini