Jakarta, Kabarberita Indonesia – Biasanya, orang mewariskan kekayaan kepada anak dan keluarga lain. Jika tidak memiliki keduanya, maka kisah Karel Albert Rudolf Bosscha ini bisa menjadi contoh. Sebab, orang terkaya Indonesia pada masa kolonial ini memilih mengalokasikan harta ke berbagai bentuk untuk kepentingan tetangga.
Bagaimana kisahnya?
Sebagai catatan, pria yang akrab disapa Bosscha itu adalah pemilik perkebunan teh di kawasan Priangan, Garut dan Sukabumi. Sejarawan Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land (2006) menyebut, pada 1900-an, dia dijuluki sebagai raja teh dan salah satu orang terkaya di Indonesia masa kolonial imbas keberhasilan industri teh yang dimiliki.
Seluruh teh dari perusahaan Bosscha sukses dijual tinggi dan menembus pasar Eropa dan China. Dia pun banyak mendulang kekayaan. Hanya saja, dia menjadikan semua harta untuk kepentingan warga.
Semasa hidup, Bosscha hidup seorang diri. Tak punya istri dan anak. Maka, dia pun leluasa membagikan harta. Toh, kala itu dia juga melihat tetangga di sekitar rumahnya berada dalam kondisi memprihatinkan. Pemerintah kolonial Belanda sangat abai terhadap kondisi mereka. Atas dasar ini, Bosscha berniat membantu warga supaya sejahtera.
Dalam tulisan harian De Indische Courant (28 November 1938) diketahui, Bosscha dikenal sebagai sosok sangat dermawan yang ketika orang datang minta bantuan selalu membantu tanpa pamrih.
“Dia menjadikan ilmunya, tenaga kerjanya dan aset-asetnya selalu tersedia bagi ilmu pengetahuan dan bagi sesama umat manusia,” tulis De Indische Courant.
Her Suganda dalam Kisah Para Preanger Planters (2014) menjelaskan, dia pertama-tama aktif mendirikan sekolah. Tercatat dia membangun Sekolah Dasar Vervoolgschool untuk anak petani di perkebunan di Pangalengan. Selain itu, dia juga membantu pembangunan universitas di Bandung, yakni kampus Technische Hoogeschool te Bandoeng yang kini menjadi ITB.
Hal serupa juga dilakukannya di dunia kesehatan. Tak ingin tetangga dan warga Bandung secara umum kesakitan, dia memberikan tanah gratis seluas 25.000 m2 dan uang 200 ribu gulden guna pembangunan proyek Lembaga Kanker di Bandung. Tak hanya itu, dia juga turut membangun lembaga advokasi bagi anak-anak tunanetra dan tunarungu.
Kebaikan ini juga termasuk kesediaan membangun jalan, perkebunan, rumah, dan infrastruktur lain yang diperuntukkan bagi tetangganya. Selain kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur, dia juga turut serta dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di dunia astronomi.
Sekitar 1920-an, dia rela mengeluarkan biaya tak sedikit untuk mendirikan observatorium di Gunung Tangkuban Perahu. Dia membeli teropong besar super mahal dari Eropa lalu membawanya turun-naik bukit demi observasi bintang.
Berkat kebaikan hati dan sumbangsih besarnya, pemerintah Bandung menganugerahinya warga utama. Sayang, setelah penganugerahan tersebut, Bosscha terkena serangan jantung dan meninggal mendadak. Saat wafat pada 26 November 1928, banyak orang menangisi kepergian dan mengantarkan jasad Bosscha hingga ke liang lahat.
Akibat tak memiliki keluarga yang menjadi ahli waris, seluruh asetnya diambilalih pemerintah kolonial. Ketika kemerdekaan tahun 1945 aset peninggalan tersebut dikendalikan pemerintah Indonesia. Meski tak ada keluarga yang dapat warisan, faktanya ada tetangga dan ribuan penduduk Bandung lain yang merasakan warisan dari hartanya.
(mfa/sef)
Next Article
Kisah Bule Terkaya di RI, Hobi Bangun Sekolah & RS Buat Warga
Artikel Ini Merupakan Rangkuman Dari https://www.cnbcindonesia.com/entrepreneur/20241202104921-25-592595/kisah-raja-teh-ri-selalu-prihatin-ke-tetangga-suka-bagi-bagi-harta