Orang Terkaya RI Tolak Hidup Mewah, Bagikan Duit Rp 20 M ke Warga




Jakarta, Kabarberita Indonesia – Sejarah bisa memberikan teladan bagaimana manusia bertindak menghadapi hiruk-pikuk kondisi ekonomi tahun 2024 dan ramalan situasi setahun ke depan. Teladan tersebut bisa dipetik salah satunya dari orang dan raja terkaya Indonesia, yakni Sri Sultan Hamengkubuwana IX (HB IX)

Sosok yang hidup dari tahun 1912 hingga 1988 ini memberi pelajaran penting bagi generasi sekarang dan mendatang terkait kesederhanaan dan sikap dermawan. Kabarberita Indonesia merangkum dua sikapnya yang bisa memberi makna mendalam.

Memilih Jajan di Pinggir Jalan

Para sahabat Sri Sultan HB IX memberi kesaksian bagaimana sosok terhormat dan kaya raya lebih memilih jajan di pinggir jalan, alih-alih restoran mewah. Pertama, cerita datang dari Abdurrahman Baswedan pada tahun 1945.

Kakek politisi Anies Baswedan ini menceritakan kalau dirinya diajak jajan di pinggir jalan oleh HB IX. Pada hari itu, Baswedan dan HB IX sedang menghadiri rapat KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) di Malang. Kebetulan cuaca rintik hujan dan membuat siapapun malas mendengarkan rapat, begitu juga HB IX.

“Sri Sultan kelihatan kesal, bosan, dan kedua kakinya diluruskan. Begitu melihat Baswedan, Sultan langsung berdiri dan mendekatinya “Saudara Baswedan, ayo kita keluar!” kata Baswedan, dikutip dari buku Masa Lalu Selalu Aktual (2007).

Baswedan yang juga merasakan hal sama langsung menyetujui ajakan Sultan HB IX. Toh, dia juga sungkan menolak ajakan Raja Jawa. Namun, Baswedan tak mengetahui bakal diajak ke mana. Baru satu dua langkah, Baswedan terkejut saat tahu kalau dia diajak minum kopi di warung pinggir jalan.

“Keduanya lalu memasuki sebuah warung kecil di pinggir jalan yang hanya diterangi sentir. Mereka memesan kopi panas dan makan dua pisang goreng,” tulis kakek dari politisi Anies Baswedan itu.

Selain bersama Baswedan, kesederhanaan lain juga direkam di autobiografi HB IX berjudul Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX (1982).

Diceritakan, Sri Sultan tercatat pernah beli es gerobakan di pinggir jalan depan Stasiun Klender, Jakarta, pada 1946. Kala itu, cuaca sangat panas dan Sultan butuh minuman segar. Bisa saja dia pergi ke restoran dan jajan di sana, tapi dia ogah dan memilih minum es di pinggir jalan sebab jaraknya lebih dekat.

Kedua contoh sikap ini jelas berbanding terbalik dengan harta yang dimiliki Sultan HB IX. Sebagai wawasan, Sultan Hamengkubuwana IX merupakan penguasa Yogyakarta sejak 1940. Dia praktis menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia karena memperoleh harta banyak dari warisan dan sistem feodalisme kerajaan.

Tak diketahui pasti berapa nominal kekayaan, tapi hal itu bisa tercermin, salah satunya, dari sikap kedermawanan yang kerap membagi-bagikan harta.

Bagikan Uang Rp20 M Agar Warga Tak Menderita

Cerita ini terjadi ketika Indonesia dilanda krisis politik dan ekonomi pasca-kemerdekaan tahun 1947. Saat itu, pertempuran membuat banyak rakyat menderita. Mereka tambah miskin dan tak jarang harus kehilangan tempat tinggal.

Para pegawai negeri juga bernasib sama. Sejak kedatangan Belanda, praktis mereka tak bisa bekerja dan mendapat gaji, sehingga keluarga di rumah tak bisa makan. Dalam keadaan demikian, rakyat berada di antara dua pilihan: tetap setia ke Indonesia meski menderita atau membelot ke Belanda dan dapat hidup berkecukupan.

Kondisi demikian lantas membuat Sri Sultan tergerak memberikan bantuan. Apalagi, dia pernah mendorong semua orang agar memberikan bantuan pada masa sulit.

Alhasil, Sultan Hamengkubuwana IX bergegas membuka peti harta keraton dan membagi-bagikannya kepada rakyat yang memerlukan. Uang gulden Belanda disebar ke rakyat di luar keraton dan dibantu oleh sekretaris pribadi dan para pejabat lain.

Dalam wawancara kepada penulis Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (1982), dia mengaku tak mengetahui berapa banyak uang yang dibagikan.

“Ah gak mungkin ingat. Ngambilnya saja sambil begini (sambil menirukan gerakan orang yang mengambil barang dengan dua telapak tangan, seperti menyendok pasir dengan tangan),” tutur Sri Sultan.

Sultan membagi-bagikan uang tak hanya ke perseorangan, tapi juga lembaga. Tentara dan unit Palang Merah Indonesia (PMI) mendapat dana hibah dari kas pribadi Sultan yang semuanya digunakan untuk mengusir tentara Belanda.

Kendati Raja Jawa itu tak mengetahui nominal pembagian uang, Wakil Presiden Mohammad Hatta ternyata ingat jumlah pastinya, yakni sekitar 5 juta gulden. Nominal 5 juta gulden sekitar Rp20-an miliar pada masa sekarang. Ketika Sri Sultan membagi-bagikan uang, Hatta sempat bertanya apakah negara perlu mengganti seluruh harta Sultan.

Namun, Sri Sultan tak menjawab dan menunjukkan sikap keikhlasan membantu sesama. Tercatat, dia menebar uang setiap hari ke masyarakat Yogyakarta dan para pegawai di Kesultanan selama 3-4 bulan.

“Mungkin 3-4 bulan. Pada waktu pendudukan oleh Belanda atas Yogya hampir berakhir. Soal tujuan utamanya, ya keduanya. Agar rakyat tidak mendukung Belanda dan saya lihat banyak orang kita yang perlu dibantu untuk menyambung hidup, termasuk keluarga pemimpin-pemimpin kita,” tutur Sultan.

Bagi penguasa Yogyakarta tersebut, uang lima juta gulden hanya sedikit dari hartanya. Sejarah mencatat, dia menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia yang memperoleh harta dari warisan dan sistem feodalisme kerajaan. Sebelumnya, dia pernah menyumbang 6,5 juta gulden kepada pemerintah sebagai modal awal pembentukan Indonesia. Nominal 6,5 juta gulden setara Rp32 miliar pada masa sekarang.

Pages

Artikel Ini Merupakan Rangkuman Dari https://www.cnbcindonesia.com/entrepreneur/20241226090614-25-598767/orang-terkaya-ri-tolak-hidup-mewah-bagikan-duit-rp-20-m-ke-warga

Tinggalkan komentar

Optimized by Optimole