Jakarta, Kabarberita Indonesia – Indonesia dan Vietnam punya banyak kesamaan. Keduanya berada di Asia Tenggara, memiliki iklim tropis, hingga sama-sama merdeka di tahun 1945. Namun, ada perbedaan mencolok antara kedua negara, yakni nasib ekonomi.
Ekonomi negara berpenduduk 100 juta itu melesat pada tahun lalu. Lebih baik dibanding Indonesia.
Badan Pusat Statistik Vietnam membukukan pertumbuhan ekonomi sebesar 7,09% pada 2024. Ini melebihi target 6,5% dari pemerintah, sehingga menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun diprediksi berada di kisaran 5%, sekalipun pemerintah belum merilis data ekonomi kuartal IV/2024.
Perolehan Vietnam tersebut jelas jadi pencapaian sangat positif yang sangat berbanding terbalik di dekade 1980-an. Kala itu, Vietnam tergolong negara sangat miskin imbas perang berkepanjangan. Sedangkan Indonesia pada tahun-tahun yang sama sudah merasakan kebebasan dan perbaikan.
Lantas, apa rahasia Vietnam bisa bangkit dan berulangkali mengalahkan Indonesia?
Negara Hancur & Miskin
Ketika merdeka pada 2 September 1945, masyarakat Vietnam tak bisa langsung menghirup udara bebas. Mereka harus dihadapkan oleh sikap penjajah Prancis yang tak ingin Vietnam merdeka. Akibatnya rakyat Vietnam terpaksa angkat senjata dan terjadilah perang Indochina I (1945-1954).
Sayang, berhentinya perang malah menambah masalah. Negara terbagi dua menjadi Vietnam Utara dan Selatan yang menjadi lokasi medan pertempuran antara dua negara adidaya, yakni Uni Soviet dan Amerika Serikat. Dari sini, pertempuran terjadi lagi. Sejarah mencatatnya sebagai Perang Vietnam atau Perang Indochina II (1957-1975) yang jadi salah satu perang terdahsyat dalam sejarah modern.
Masyarakat Vietnam baru merasakan kebebasan setelah perjanjian unifikasi pada 2 Juli 1976. Itu pun kebebasan yang dibarengi keadaan hancur-lebur. Sejarawan Ben Kiernan dalam Vietnam: A History from Earliest Times to the Present (2017) menjelaskan, setelah keadaan damai, pemerintah baru Vietnam dihadapi oleh kerusakan jalanan, terputusnya jalur kereta api, robohnya infrastruktur penunjang, hingga hilangnya lahan pertanian dan rumah warga.
Sebelum hengkang, pasukan AS lebih dulu membakar lima juta hektar lahan pertanian dan meratakan dua pertiga desa. Akibatnya, rakyat jatuh dalam kesengsaraan dan kelaparan. Inflasi mencapai 900%. Total ada 10 juta pengungsi, hampir 1 juta anak menjadi yatim-piatu, dan 3 juta orang menganggur.
Tak sampai di situ, tekanan eksternal juga membuat Vietnam makin hancur. Negara itu tak mendapat kompensasi imbas perang dari AS. Bahkan, Paman Sam dan berbagai lembaga juga melakukan embargo. Perlahan bantuan dana dari Uni Soviet juga berkurang.
Di tengah tekanan ekonomi demikian, pemerintah Vietnam segera berbenah. Tak ingin negara hancur dan bangkrut, mereka melakukan reformasi ekonomi besar-besaran yang menjadi kunci penting roda ekonomi selama bertahun-tahun ke depan.
Reformasi Doi Moi
Pada 1986, elite Vietnam memperkenalkan kebijakan Doi Moi atau dalam bahasa Indonesia disebut pembaharuan.
Peneliti Anja Baum dalam “Vietnam Development Success Story and the Unfinished SDG Agenda” (2020) menjelaskan, Doi Moi didefinisikan sebagai transisi ekonomi terpusat ke ekonomi pasar dengan menggabungkan insentif pasar bebas, tapi tidak melupakan fundamental Vietnam sebagai negara komunis-sosialis.
“Doi Moi membuka ekonomi terpusat yang dimulai dengan reformasi pertanian, membuka pasar bebas dan perdagangan internasional, serta memulai reformasi pro-bisnis,” tulis Anja Baum.
Alasan pemerintah memulainya dari pertanian sebab 70% orang Vietnam berada di sektor tersebut. Toh, warga Vietnam juga menggantungkan hidup pada beras. Secara garis besar, pemerintah melakukannya lewat subsidi harga-harga terkait pertanian, memberikan tanah kepada para petani, dan membangun irigasi.
Lebih lanjut, peneliti Kosal Path dalam “The Origins and Evolution of Vietnam Doi Moi Policy of 1986″ (2020) menyebutkan, setelah pertanian rampung, pemerintah melakukan liberalisasi perdagangan dan membuka pintu seluas-luasnya bagi investor asing dan pengusaha dalam negeri. Pemerintah komunis juga menjamin kepastian berusaha.
Selain itu, negara juga menghapus berbagai hambatan, serta pembebasan wisatawan asing. Lalu, dilakukan juga penguatan sektor fiskal dan makro (lewat devaluasi Dong Vietnam dan pengurangan defisit anggaran), penghapusan birokrasi berbelit, pengentasan kasus korupsi, hingga pengetatan stabilitas politik.
Singkat cerita, tak sampai berpuluh-puluh tahun, Doi Moi perlahan langsung membuahkan hasil. Mengutip tulisan diplomat Hong Anh Tuan di Globe Asia, pada 1989, tiga tahun setelah Doi Moi, Vietnam tak lagi krisis beras. Negara bahkan sudah melakukan ekspor 1,4 juta ton beras. Bahkan, sejarah mencatat, setelahnya negara komunis ini jadi negara pengeskpor beras terbesar di dunia selama bertahun-tahun.
Sejak itu pula, Vietnam berhasil mengurangi angka kemiskinan signifikan. Awalnya 70% menjadi 32% pada 2000-an. Lalu, bisnis swasta menggeliat, investasi asing masuk secara deras, APBN melonjak hingga pertumbuhan ekonomi tumbuh pesat.
Tentu buah manis dari reformasi tersebut dirasakan dalam 5-10 tahun belakangan ini. Negara miskin bernama Vietnam sukses bangkit menjadi ‘raja’ Asia Tenggara. Selama 10 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Vietnam sangat positif. Hanya tiga kali turun di 2020, 2021, dan 2023.
Ini tentu belum memasukkan berbagai angka-angka ekonomi lain yang juga sangat positif. Praktis, pencapaian ini melebihi sesama negara angkatan 1945 yang berada di selatan bernama Indonesia.
Meskipun, pada sisi lain, kunci sukses Vietnam, yakni Doi Moi, menghasilkan kapitalisme dan ketimpangan di kalangan penduduk. Alias, sudah bergeser jauh dari ekonomi komunis-sosialis yang jadi fundamental awal.
(mfa/mfa)
Artikel Ini Merupakan Rangkuman Dari https://www.cnbcindonesia.com/entrepreneur/20250107090303-25-601236/dulu-negara-miskin-hancur-ini-rahasia-vietnam-bangkit-kalahkan-ri