Jakarta, Kabarberita Indonesia – Rezim Presiden Suriah Bashar Al Assad akhirnya tumbang pada Minggu. Hal ini terjadi setelah pasukan pemberontak, yang memerangi rezimnya selama hampir 13 tahun terakhir, berhasil menguasai Ibu Kota Damaskus dan memaksa Assad untuk pergi dari negaranya.
Kejadian ini pun juga otomatis mengakhiri perang saudara Suriah yang brutal. Konflik yang dimulai pada 2011 tersebut telah menewaskan lebih dari 500.000 orang dan menyebabkan sekitar 12 juta orang mengungsi dari rumah mereka.
Momen bersejarah ini pun dirayakan oleh warga Suriah. Kerumunan orang juga berkumpul di Ibu Kota untuk merayakan dengan nyanyian dan doa. Sesekali tembakan perayaan juga terdengar dari pasukan oposisi yang merayakan tumbangnya rezim Assad.
“Saya tidak tidur tadi malam, dan saya menolak untuk tidur sampai saya mendengar berita tentang kejatuhannya,” kata Mohammed Amer Al Oulabi, 44 tahun, yang bekerja di sektor kelistrikan, kepada Al Jazeera, dikutip Senin (9/12/2024).
“Dari Idlib ke Damaskus, mereka (pasukan oposisi) hanya butuh beberapa hari, syukurlah. Semoga Tuhan memberkati mereka, singa-singa heroik yang membuat kita bangga,” tambahnya.
Lalu bagaimana profil Bashar Al Assad dan bagaimana ia mampu memimpin Negeri Syam hingga akhirnya tumbang pada Desember 2024 ini?
Bashar Al Assad merupakan putra dari mendiang Presiden Suriah Hafez Al Assad, yang berkuasa pada 1971 hingga wafatnya di tahun 2000. Saat itu, Bashar, yang awalnya hanya seorang dokter mata yang belajar di London, dipanggil untuk kembali ke Damaskus untuk menjadi presiden.
Agar Bashar dapat memangku jabatan presiden, parlemen harus menurunkan usia minimum bagi para kandidat dari 40 menjadi 34 tahun, karena Bashar yang lahir pada tahun 1965 baru menginjak usia 34 tahun pada saat itu. Ia kemudian memenangkan referendum dengan lebih dari 97% suara, di mana ia menjadi satu-satunya kandidat.
Pria yang pendiam dan tertutup ini awalnya memunculkan harapan akan reformasi. Namun hanya ada beberapa perubahan ekonomi yang terbatas, dengan pemerintahannya sangat mirip dengan rezim otoriter ayahnya selama 30 tahun.
Satu dekade kemudian, pada Maret 2011, Bashar Al Assad menghadapi tantangan besar pertamanya saat warga Suriah turun ke jalan menuntut demokrasi, kebebasan sipil, dan pembebasan tahanan politik. Ia menepis pemberontakan itu sebagai konspirasi asing, seraya menjuluki lawan-lawannya sebagai ‘teroris’.
Sebagai pemimpin satu-satunya kekuatan politik sah negara itu, Partai Baath, dan panglima tertinggi angkatan bersenjata, tanggapan Assad adalah tindakan keras yang brutal. Hal ini kemudian mengintensifkan protes, yang dengan cepat meningkat.
Pada tahun 2012, pemerintah menggunakan senjata berat terhadap kelompok pemberontak, termasuk serangan udara. Akibat hal ini, kerusuhan kemudian menyebar, memicu pemberontakan bersenjata yang melibatkan kekuatan regional dan internasional.
Pada tahun-tahun berikutnya, pemerintahan Assad tetap berkuasa dengan dukungan politik dan militer dari Rusia dan Iran, serta kelompok Lebanon yang didukung Teheran, Hizbullah. Assad kemudian secara bertahap berhasil merebut kembali sebagian besar wilayah yang awalnya direbut oleh para pemberontaknya.
Namun, ia memerintah negara yang terpecah belah, dengan hanya sebagian kendali dan basis dukungan yang sempit. Terutama dari minoritas Alawi yang keluarganya merupakan bagian darinya.
Kemudian, gencatan senjata dideklarasikan pada Maret 2020 menyusul kesepakatan antara Rusia dan negara tetangga Turki, yang secara historis mendukung beberapa kelompok oposisi di Suriah. Namun, Suriah terus menderita akibat pemboman dan pertempuran yang sering terjadi, sementara Assad mengabaikan proses politik yang dipimpin Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mewujudkan transisi demokrasi.
Selama bertahun-tahun, Assad menampilkan dirinya sebagai pelindung kaum minoritas Suriah. Ia bahkan memposisikan dirinya sebagai benteng melawan ‘ekstremisme’ dan satu-satunya kekuatan yang mampu memulihkan stabilitas di negara yang dilanda perang tersebut.
Namun hal ini tidak cukup menyakinkan bagi para oposisinya. Dalam beberapa pemilihan umum yang diadakan selama bertahun-tahun, termasuk selama perang di wilayah yang dikuasai pemerintah, hasil resmi menunjukkan Assad memenangkan mayoritas suara.
Pada bulan Mei 2021, ia terpilih kembali untuk masa jabatan keempat dengan perolehan 95,1% suara. Hasil ini pun tidak membuat pemerintahannya dapat memperoleh kembali legitimasi di mata sebagian besar masyarakat internasional di mana sejumlah negara dan kelompok hak asasi manusia menuduh bahwa pemilihan umum tersebut tidak bebas dan tidak adil.
Sementara itu, pemerintahannya menghadapi tuduhan membunuh dan memenjarakan ribuan orang, serta membuat seluruh masyarakat di wilayah yang dikuasai pemberontak kelaparan selama perang. Pemerintahan juga dituduh menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya sendiri, tuduhan yang dibantah langsung oleh Assad.
Pada tahun 2023, Organisasi Pelarangan Senjata Kimia menyimpulkan bahwa ada ‘alasan yang masuk akal untuk percaya’ bahwa pemerintah Suriah menggunakan senjata kimia dalam serangan pada tanggal 7 April 2018 di Douma, dekat Damaskus. Pada bulan November 2023, Prancis mengeluarkan surat perintah penangkapan internasional untuk Assad dengan tuduhan terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan terkait dengan serangan kimia yang dituduhkan kepada pemerintahnya pada tahun 2013.
Keesokan harinya, Mahkamah Internasional, pengadilan tinggi PBB, memerintahkan pemerintah Suriah untuk mengakhiri penyiksaan dan bentuk-bentuk perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat lainnya.
“Bagi warga Suriah, (Assad) akan selalu dikenang sebagai presiden yang menunjukkan kepemimpinan yang buruk, menghancurkan negaranya, dan menggusur rakyatnya sendiri,” kata analis kebijakan Suriah Marwan Kabalan.
“Dia (sekarang) tidak hanya kehilangan kekuasaannya, tetapi dia juga kehilangan seluruh tanah airnya,” tambahnya.
Pada tahun 2023, setelah lebih dari 12 tahun perang, Assad disambut kembali ke Liga Arab oleh negara-negara Timur Tengah yang pernah menjauhinya. Keputusan untuk mengembalikan keanggotaan Suriah menandai pembalikan diplomatik yang dramatis karena beberapa negara Arab berusaha untuk terlibat kembali dengan Assad.
Namun situasi di lapangan tetap sama. Warga Suriah, yang berharap untuk awal yang baru, masih hidup dalam keruntuhan ekonomi dan krisis kemanusiaan.
Dan selama 10 hari terakhir, perang yang telah lama mandek itu kembali bergemuruh dengan kemajuan pesat para pejuang oposisi seperti Hayat Tahrir Al Sham (HTS) dan Pasukan Demokrasi Suriah (SDF) dengan cepat menguasai beberapa kota besar pada saat sekutu Assad sibuk dengan konflik mereka sendiri di tempat lain.
“Selama beberapa dekade, rezim ini telah menjadi sumber penindasan, ketidakstabilan, dan kehancuran. Saya optimis dan saya pikir kita dapat terus membangun hal tersebut menuju terbentuknya negara demokras,” kata Fadel Abdulghani, direktur eksekutif Jaringan Suriah untuk Hak Asasi Manusia, kepada Al Jazeera.
(sef/sef)
Next Article
Video: Serangan Israel di Younine Lebanon, 23 Warga Suriah Tewas
Artikel Ini Merupakan Rangkuman Dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20241209084746-4-594342/diktator-bashar-al-assad-jadi-presiden-karena-bapak-hapus-batas-umur